Friday, August 17, 2012

Batavia

Jakarta, sebuah kota yang menyandang kewajiban sebagai seorang ibu bagi ratusan bahkan ribuan kota di sebuah negara yang orang-orang sebut dengan nama Indonesia. Entah apa sebenarnya yang menjadi latar belakang Jakarta mendapuk tugas berat seperti itu. Sebagai sebuah ibukota negara tentulah bukan hal yang mudah, apalagi jika menyangkut luas wilayah negara Indonesia. Kalau saja Indonesia hanya sebesar negara Tuvalu atau bahkan Nauru yang bahkan untuk ukuran negaranya hanya setengah dari luas kota Jakarta dan Jakarta menjadi ibukota negara didalamnya tentu akan lain cerita tapi ini Indonesia yang lagi-lagi kata orang merupakan bangsa besar dan hebat(pada masa lalu) tetapi tetap saja jargon itu masih dipakai sampai sekarang. Utopis memang, disaat dimana tidak ada apa-apa yang bisa dibanggakan dari negara Indonesia, hanya jargon seperti itulah yang digunakan sebagai pelepas dahaga jutaan rakyatnya.

Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari yang namanya Jakarta. Kota dimana roda pemerintahan, perekonomian, dan lain sebagainya berpusat di kota tersebut. Bukan main beban yang harus ditanggung Jakarta. Layaknya Indonesia mini, segala macam orang ada di kota tersebut. berada disitu hanya untuk sekedar menyerap sari pati yang bisa diambil sebanyak-banyaknya untuk kemudian dibawa pulang kedaerahnya masing-masing tanpa perlu peduli akan apa yang ditinggalkannya di Jakarta. Pun sudah bisa memuaskan segala ego dan mengeruk segala macam hal dari Jakarta, tetap saja Jakarta dihina, dicaci tiada henti dari segala penjuru tak terkecuali oleh siapapun itu. Bagai buah simalakama, Jakarta dibutuhkan tetapi bukan untuk dijaga, hanya dieksplorasi selama 24 jam tanpa henti oleh makhluk-makhluk yang tinggal didalamnya.

Sudah beberapa kali kaki saya menginjakkan tanah Jakarta. Mulai dari hanya sekedar haha-hihi atau untuk masalah mencari kerja. Semuanya berakhir dengan kekecewaan. Bukan karena hal-hal tersebut, namun karena Jakarta yang sudah tidak mampu lagi memberi rasa nyaman bagi tiap-tiap orang yang ada didalamnya. Semua apatis kecuali pada diri mereka sendiri-sendiri. Memakan sesama bukan hal yang aneh di Jakarta selama itu bisa membantumu untuk hidup didalamnya. Jakarta membentuk sebuah rantai makanan baru didalamnya. Ah saya bahkan masi ingat tiap umpatan kata dari orang-orang yang saya temui. Setiap detilnya penuh amarah dan kekecewaan terhadap Jakarta, tapi toh mereka masih saja tinggal disana. Menyalahkan Jakarta tapi mereka adalah bagian dari segala macam keruwetan yang ada di Jakarta itu sendiri. Jakarta sungguh aslinya tak berdosa. Hanya mungkin sudah menjadi kutukan saja dimana sejak dulu menjadi tempat persinggahan dan berkembang menjadi lahan perebutan kekuasaan. Jakarta dirusak oleh sistem, sistem yang sejak dulu mengakar dan sudah kronis. Jakarta berasa sudah dikutuk untuk mejadi tempat sumpah serapah!

Kali ini ada sebuah tawaran yang mungkin saya sendiri akan berpikir dua kali untuk menolaknya. Sebuah tawaran untuk menjadi bagian kecil dari Jakarta. Tawaran yang membuat saya masuk ke dalam sistem yang bernama Jakarta. Saya mengernyitkan dahi dan berpikir keras, Jika saja saya mau membuka diri saya untuk Jakarta, mungkinkah Jakarta mau melakukan hal yang serupa untuk saya?

1 comment:

Uthie said...

CIHII CIHIII HASIK HASIIIKKK.
you just see what you want to see.

masih banyak sisi lain Jakarta yang belum kamu eksplor. lagipula, mungkin saja Jakarta bisa jadi pijakan untuk ke arah lain yang lebih baik. jangan pesimis gitu ah. ;))

MAIN KE CILANDAK LOH, HARUS! >:)