Monday, January 21, 2013

Masa Depan Seperti Apa?

pelan tapi pasti, kenyataan itu pasti akan datang.
kenyataan akan segala hal yang terabai.
tak terindahkan namun secara perlahan terus menambah.

siapa yang tak perduli dengan masa depan sekarang?
ketika kenyataan itu muncul kembali.
menampar keras di wajah berkali-kali.
memuntahkan sejuta ekspektasi di setiap jaringan sel dalam otak.
mencoba memainkan irama-irama satir kehidupan alam bawah sadar.

tapi kemudian masa depan milik siapa untuk diperdulikan?
ketika tidak ada yang dimiliki sama sekali.
terbiasa hampa yang menjadikan kekosongan menjadi teman.
bebal akan kehidupan nyata dan terlalu lama bermain dalam imaji.

masa depan yang seperti apa yang harus diperdulikan?
hitam.. gelap.. sepi..
tak ada siapapun didepan.
sepertinya mati. ya masa depan itu mati. tak bernyawa.
bukan sebuah zat yang berbentuk. dia tak ada secuil pun wujud.

jadi harus memperdulikan siapa sekarang?

Saturday, January 5, 2013

Menyapa Hati

Mencoba membuka hati mungkin bagi sebagian orang mudah dalam pelafalannya, tapi nyatanya toh bagi saya sendiri untuk sekedar mengejanya dalam kehidupan nyata sangat payah.

Seakan hati ini sebuah kapal, dan dia masih saja tertambat pada suatu pelabuhan akan kenangan. Yang ketika perahu itu sudah penuh akan muatan untuk berlayar tapi tetap saja si perahu dengan muka sinisnya masi enggan menarik jangkar kapalnya untuk cepat2 mengembangkan layarnya.

Kalaupun sebuah peribahasa jawa berkata bahwa "sebuah cinta itu akan muncul karena terbiasa", haruskah seperti itu? menerima seseorang atas dasar kepasrahan akan masa depan yang dia sangsikan sendiri akan kepastiannya.

Bukankah kita masing-masing berhak memilih. memilih yang terbaik atau bukan yang terbaik. karena pada hakikatnya toh terbaik itu ngga pernah ada. kecuali kau ingin berhadapan dengan Tuhan tentunya Sang Maha Terbaik. Akan lebih tepat jika memilih dengan seseorang yang nyaman.

Kadang kala berenang dan bahkan terbang melayang ke awan imajinasi dan kenangan bisa membuat lupa akan segalanya. Lupa akan adanya realita yang harus dihadapi. Membiaskan yang namanya logika. Mempertebal sekat-sekat standarisasi dalam diri sendiri. Melupakan yang namanya ketidaksempurnaan dalam diri.

Walau berat tapi tetap saja harus hati ini harus dipaksa atau bila perlu ditampar berkali-kali supaya sadar. Bahwa tidak ada salahnya untuk kali ini berani untuk membuka hati. membiarkan hati ini diam sama saja dengan membunuh perasaan sendiri secara perlahan. Pelan tapi pasti dan lama-lama akan hampa yang dirasa.

"Hati, melunaklah" ucapku dengan penuh iba, yang saya sendiri lupa kapan terakhir kali saya meminta hati untuk melakukannya.