Wednesday, June 18, 2014

Mendahului Keputusan

Suasana riuh rendah dan gelak tawa di acara itu membuatnya ikut terbawa suasana. Menikmati alunan musik daerah yang sudah sangat jarang ia dengar. Bertemu orang-orang baru yang sebelumnya ia tak pernah kenal. Namun tiba-tiba kenangan itu menyergap masuk ke dalam alam bawah sadarnya secara tiba-tiba. Kenangan yang menyergapnya untuk kembali mengundang ingatan akan pengalaman-pengalaman yang tak mengenakkan. Tubuhnya lemas, kakinya perlahan melambat. Semakin mendekat pikirannya semakin tak tenang. Dia semakin menjadi-jadi bermain dengan ingatannya. Mulai dari satu peristiwa ke peristiwa yang lainnya. Manuskrip akan segala peristiwa hidupnya tersaji. Dia bisa saja menghentikan ingatan itu, tapi alam bawah sadarnya sudah terlanjur tak berdaya.

Ada trauma mendalam pada dirinya. Trauma yang tak pernah dia bagi kepada siapapun, dia pendam sendiri. Ketakutan akan penghakiman orang lain akan apa yang dirasakannya sudah cukup membuatnya mengurungkan niat untuk sekedar berbagi rasa sakitnya. Trauma itu mengendap sudah cukup lama tanpa dia sadari sedikitpun. Dia masih saja selalu mengelabuhi traumanya sendiri. Dipikirnya dia mampu mengendalikan traumanya, tapi sebaliknya. Dia semakin lemah akan dirinya sendiri juga akan rasa traumanya.

Sebuah dilema besar akan keputusannya sendiri. Dia jelas dengan sangat sadar berbeda dengan yang lainnya. Apa yg telah dialaminya lah yang membuatnya seperti sekarang. Masa lalunya menempatkan dia pada posisi pesimis terhadap masa depannya sendiri. Keyakinan untuk bisa hidup seperti orang lain pada umumnya terlihat semu dimatanya sendiri. Adanya sebuah harapan pun makin lama bak seperti oase. Tidak ada yang benar-benar membuatnya yakin. 

Kali ini dia semakin mendekati bibir panggung. Segera dia hentikan ingatan-ingatan itu. Kesadarannya pun kembali menguat. Dilemaskannya otot-otot pada mukanya, dia tak mau terlihat sedih didepan para penghajat pesta itu. Senyumnya mulai terurai secara perlahan begitu dia menggapai tangan-tangan sang penghajat pesta. Dicobanya untuk melupakan segala macam kegusarannya. Dia ganti itu semua dengan senyum seperti tamu undangan lainnya. Paling tidak dia bisa menahan itu sampai kembali turun dari panggung. Sekali lagi dia tak mau membagi perasaan sedihnya itu kepada orang lain. Dibawa matipun tak apa pikirnya, asal orang disekitarnya tetap diam.
Mengutuk masa lalu memang bukanlah sesuatu yang buruk, namun ketika mencoba mendahului masa depan, cobalah balik melihat ke dalam. Sudah merasa lebih besarkah dirimu dibandingkan dengan Tuhan.

Monday, June 16, 2014

Plot

Aku membuat plotku, sedang kamu juga sibuk dengan plotmu sendiri. Merangkainya sedemikian rupa, yang menjadikan turunannya berupa sub-sub plot tertentu. Plotku jelas sangat berbeda dengan apa yang kau miliki. Tak ada sebuah kemiripan sama sekali layaknya sebuah disclaimer yang sering terpampang pada cerita-cerita fiksi. Jalur plotku dan plotmu pun jauh berseberangan. Asik dengan sendirinya dan tak menghiraukan satu dengan yang lain, walau kadang aku dengan keingintahuanku, dengan samar-samar aku melihat jalur plotmu dari tempatku berada. Plotmu kadang berputar-putar tak tentu arah, sama seperti yang kadang aku lakukan. Atau suatu waktu plotmu banyak bersinggungan dengan plot orang lain yang aku kenal. Ya, aku bisa melihatnya hanya dengan berbekal rasa keingintahuanku.

Suatu waktu, entah mengapa secara tak sadar jarak yang biasanya memisahkan garis plotmu dan garis plotku menjadi semakin mendekat. Plot kita berjalan sangat cepat waktu itu tanpa kita sadari satu dengan yang lain. Lama-lama mendekat dan akhirnya bersinggungan. Plot kita bersingunggan untuk kali pertamanya. Tak ada yang istimewa pada mulanya, namu ketika ketersinggungan plot itu menjadi semakin sering. Lalu apa daya ketika muncul sebuah percikan kecil yang menarik untuk munculnya sebuah subplot bersama. Mencoba untuk mensejajarkan dua plot yang awalnya sungguh sangat berbeda nyatanya memang susah. Tak ada ikatan yang saling mengikat antar plot, termasuk juga milikku dan milikmu. Semua berjalan menuliskan jalan nya sendiri-sendiri seperti biasanya. Tak berpola dan sesukanya.

Mungkin akan agak memaksa ketika harus berupaya terus mensejajarkan dua buah plot untuk selalu berjalan beriringan. Tidak mungkin rasanya mengatur sedemikian rupa agar segala sesuatu terlihat wajar di mata. Bukankah akan menjadi sebuah ke otoriteran ketika selalu menginginkan semuanya bagus pada tempatnya sesuai dengan sudut pandang orang pertama. Toh pada kenyataannya, sebuah keseragaman lebih banyak menghasilkan perpecahan dibandingkan dengan keberagaman. Ego yang memuncak pada akhirnya harus mau berkompromi dengan keadaan.

Aku masih menunggu plotmu dengan plotku untuk saling bersinggungan, saling beriris, dan memunculkan subplot-subplot baru dalam perjalanan plot besar masing-masing dari kita. Walau entah kapan.