Tuesday, April 29, 2014

Rival

Tabiat itu bak gen yang sudah sangat lekat melekat dengan darah mereka. Mengalir deras kesetiap sendi tubuh mereka yang kemudian diimplementasikan dengan perbuatan yang mereka kira wajar. Tak pernah merasa bersalah dan selalu jumawa kepada siapapun, padahal hanya ego dan kefanatikan semu yang kalian punya. Maaf jika saya harus mengatakan seperti itu, tapi itulah yang saya lihat sampai kejadian tadi sore. Tidak ada itikad baik dari pada menyambung sebuah benang kusut hasil dari keburukan masing-masing dari kita di masa lalu. Seakan merasa paling besar dan tua, tapi toh itu masa lalu. Tak perlulah membanggakan yang dulu kalau justru semakin kemari yang ada kalian hanya semakin mundur.

Mungkin jika almarhum ayah saya masi hidup sampai sekarang, beliau masi akan ada di bagian mereka. Menjadi penonton di salah satu sudut tribun itu. Berteriak apapun kepada punggawa-punggawa yang berlari dilapangan dan sesekali mengumpat kepada siapapun yang beliau mau. Dan saya sendiri akan berdiri di seberang sisi beliau. Bukan untuk memusuhi, namun untuk kali ini saya memutuskan untuk berbeda pandangan dengan beliau. Entah beliau akan marah atau tidak, tapi semoga dia paham. Mungkin beliau tidak sempat melihat anaknya ini menyukai apa-apa yang beliau coba kenalkan pada saya waktu kecil. Tapi percayalah, bahwa kali ini saya benar-benar lebih dari pada sebuah arti cinta pada hal ini. Walaupun berbeda tapi saya sendiri tak bisa membohongi diri saya sendiri akan dimana letak kebanggaan saya itu letakkan. Bolehkah dikata kalau biarlah kita mejadi rival selama 90 menit tapi setelah itu kembali kita menjadi sebuah keluarga yang saling melengkapi.

"Logo candi di dada itu akan selalu saya puja, karena disitulah ada tempat untuk kebanggaan saya berada."

Konektivitas

Membuncah bahagia kemudian memuntahkan semuanya.
Beriang gembira lalu terpuruk tak tahu kemana harus menyelinapkan murung berada.
Selalu bergidik dan menyangkal tapi dalam hati menuai rasa penasaran.
Sampai pada akhirnya selalu ada batas akhir pada apapun itu tak terkecuali.
Melepaskan entah harus dengan berat hati atau diiringi dengan sorak sorai.
Melupakan apakah nantinya dengan terpaksa atau berlalu secara sendirinya.
Suatu akhir yang nantinya akan berakhir.
Hilang tak berbekas.
Menjadi abu kemudian berhambur.
Segalanya yang membuatmu bahagia dengan cepat, maka seketika akan membunuhmu setelahnya.


ke-Aku-an

Menjadi diri sendiri yang betul-betul disadari secara sadar bahwa akulah aku tanpa ada sebuah ke-aku-an yang dibuat-buat nyatanya memang susah. Karna toh kita tidak bisa lepas dari orang lain. Persepsi dan label yang akan selalu mengiringi setiap langkah yang kita buat. Entah itu baik atau buruk, kita terima dengan lapang, acuhkan, atau bahkan yang akan kita lawan sampai kita mampus nantinya.

Tidak ada yang gampang sekarang, bahkan untuk sekedar hidup pun susahnya setengah mati. Jikalau hidup semudah apa yang dikatakan oleh para motivator-motivator itu, tentulah bangsa ini tak memerlukan keringat dalam mendirikannnya. Cukup dengan modal jongos dan bantal untuk membangun mimpi didalamnya. Tapi tau apalah saya akan sebuah susahnya hidup, jika keluh kesah hidup saya hanya terjadi di dunia perkicauan yang berharap tiap orang yang membacanya merasa iba kemudian menanggapinya dengan respon yang menyenangkan sesuai keinginan. Jikalau tidak ada yang merespon, cukuplah hanya tinggal membuat kicauan yang lebih mendramatisir lagi. Tak perlulah saya berbicara terlalu lama masalah susahnya hidup jika hanya masalah baterai hape yang tersisa hanya 20% saja sudah membuat saya panik tak karuan, atau ketika jaket branded saya terkena noda makanan mahal yang saya beli sendiri.

Hidupmu adalah hidupmu, begitu pula dengan ku. Yang menyangkut pautkan hanyalah kebaikan-kebaikan yang kita lakukan apapun itu. Selain itu, itulah urusanmu dan urusanku sendiri. Tak perlulah ingin tahu yang berlebih. Karna kadar keingintahuan milikmu dan milikku ini sungguh mengerikan jika kau tau. Toh ketika kau tau lebih, benarkah itu akan membantumu dalam menjalani hidupmu? Atau justru sebaliknya? Karna ada saatnya bahwa menjadi orang yang tidak tahu akan apa-apa itu sungguh sangat menyenangkan.