Saturday, October 4, 2014

Dialog Imajiner

+ Kalo ada sesuatu mbok ya di ceritain.
- Tapi kita ngga pernah bisa semudah itu untuk bisa bertukar cerita.
+ Tapi kan bisa dicoba sedikit demi sedikit?
- Sudah kok, beberapa tahun ini sih sudah agak mulai cair cm ya masih di masalah umum aja sih.
+ Lha? kenapa ga bahas yang lebih privasi?
- Ngga semudah itu. Dari awal memang settingan dan didikan kita menjadikan kita seperti itu.
+ Settingan?
- Iya, lingkup kehidupan yang membuatnya semuanya menjadi seperti sekarang ini.
+ Dan kamu ngga ingin merubah semuanya supaya lebih baik?
- Sudah, paling tidak saya lebih dekat dan menjaganya.
+ Definisi dekat macam apa yang hanya untuk bertukar cerita saja kau tidak mau melakukannya.
- Paling tidak menurutku aku sudah melakukannya dengan tindakanku.
+ Dan kau berpikir bahwa orang-orang disekitarmu memiliki sense yang sama untuk tahu apa2 yang kau ingin bicarakan dengan gerakanmu?
- Iya, aku berpikir seperti itu.
+ Kok naif sekali kamu. Bukan berarti dengan kau punya rasa sensitif yang besar hal itu juga ada di tiap orang lain kan?
- Ya paling tidak aku sudah mencobanya kan. 
+ Dan sampai kapan akan memendam semuanya? mengorbankan sesuatu yang dulu kau idam-idamkan?
- Entahlah, pikiranku sendiri selalu kacau ketika memikirkannya.
+ Lalu apa yang membuatmu bertahan sedalam ini?
- Mungkin sebuah rasa penyesalan dan juga ketakutan akan rasa bersalah yang nantinya tidak ada gantinya lagi, 

Wednesday, June 18, 2014

Mendahului Keputusan

Suasana riuh rendah dan gelak tawa di acara itu membuatnya ikut terbawa suasana. Menikmati alunan musik daerah yang sudah sangat jarang ia dengar. Bertemu orang-orang baru yang sebelumnya ia tak pernah kenal. Namun tiba-tiba kenangan itu menyergap masuk ke dalam alam bawah sadarnya secara tiba-tiba. Kenangan yang menyergapnya untuk kembali mengundang ingatan akan pengalaman-pengalaman yang tak mengenakkan. Tubuhnya lemas, kakinya perlahan melambat. Semakin mendekat pikirannya semakin tak tenang. Dia semakin menjadi-jadi bermain dengan ingatannya. Mulai dari satu peristiwa ke peristiwa yang lainnya. Manuskrip akan segala peristiwa hidupnya tersaji. Dia bisa saja menghentikan ingatan itu, tapi alam bawah sadarnya sudah terlanjur tak berdaya.

Ada trauma mendalam pada dirinya. Trauma yang tak pernah dia bagi kepada siapapun, dia pendam sendiri. Ketakutan akan penghakiman orang lain akan apa yang dirasakannya sudah cukup membuatnya mengurungkan niat untuk sekedar berbagi rasa sakitnya. Trauma itu mengendap sudah cukup lama tanpa dia sadari sedikitpun. Dia masih saja selalu mengelabuhi traumanya sendiri. Dipikirnya dia mampu mengendalikan traumanya, tapi sebaliknya. Dia semakin lemah akan dirinya sendiri juga akan rasa traumanya.

Sebuah dilema besar akan keputusannya sendiri. Dia jelas dengan sangat sadar berbeda dengan yang lainnya. Apa yg telah dialaminya lah yang membuatnya seperti sekarang. Masa lalunya menempatkan dia pada posisi pesimis terhadap masa depannya sendiri. Keyakinan untuk bisa hidup seperti orang lain pada umumnya terlihat semu dimatanya sendiri. Adanya sebuah harapan pun makin lama bak seperti oase. Tidak ada yang benar-benar membuatnya yakin. 

Kali ini dia semakin mendekati bibir panggung. Segera dia hentikan ingatan-ingatan itu. Kesadarannya pun kembali menguat. Dilemaskannya otot-otot pada mukanya, dia tak mau terlihat sedih didepan para penghajat pesta itu. Senyumnya mulai terurai secara perlahan begitu dia menggapai tangan-tangan sang penghajat pesta. Dicobanya untuk melupakan segala macam kegusarannya. Dia ganti itu semua dengan senyum seperti tamu undangan lainnya. Paling tidak dia bisa menahan itu sampai kembali turun dari panggung. Sekali lagi dia tak mau membagi perasaan sedihnya itu kepada orang lain. Dibawa matipun tak apa pikirnya, asal orang disekitarnya tetap diam.
Mengutuk masa lalu memang bukanlah sesuatu yang buruk, namun ketika mencoba mendahului masa depan, cobalah balik melihat ke dalam. Sudah merasa lebih besarkah dirimu dibandingkan dengan Tuhan.

Monday, June 16, 2014

Plot

Aku membuat plotku, sedang kamu juga sibuk dengan plotmu sendiri. Merangkainya sedemikian rupa, yang menjadikan turunannya berupa sub-sub plot tertentu. Plotku jelas sangat berbeda dengan apa yang kau miliki. Tak ada sebuah kemiripan sama sekali layaknya sebuah disclaimer yang sering terpampang pada cerita-cerita fiksi. Jalur plotku dan plotmu pun jauh berseberangan. Asik dengan sendirinya dan tak menghiraukan satu dengan yang lain, walau kadang aku dengan keingintahuanku, dengan samar-samar aku melihat jalur plotmu dari tempatku berada. Plotmu kadang berputar-putar tak tentu arah, sama seperti yang kadang aku lakukan. Atau suatu waktu plotmu banyak bersinggungan dengan plot orang lain yang aku kenal. Ya, aku bisa melihatnya hanya dengan berbekal rasa keingintahuanku.

Suatu waktu, entah mengapa secara tak sadar jarak yang biasanya memisahkan garis plotmu dan garis plotku menjadi semakin mendekat. Plot kita berjalan sangat cepat waktu itu tanpa kita sadari satu dengan yang lain. Lama-lama mendekat dan akhirnya bersinggungan. Plot kita bersingunggan untuk kali pertamanya. Tak ada yang istimewa pada mulanya, namu ketika ketersinggungan plot itu menjadi semakin sering. Lalu apa daya ketika muncul sebuah percikan kecil yang menarik untuk munculnya sebuah subplot bersama. Mencoba untuk mensejajarkan dua plot yang awalnya sungguh sangat berbeda nyatanya memang susah. Tak ada ikatan yang saling mengikat antar plot, termasuk juga milikku dan milikmu. Semua berjalan menuliskan jalan nya sendiri-sendiri seperti biasanya. Tak berpola dan sesukanya.

Mungkin akan agak memaksa ketika harus berupaya terus mensejajarkan dua buah plot untuk selalu berjalan beriringan. Tidak mungkin rasanya mengatur sedemikian rupa agar segala sesuatu terlihat wajar di mata. Bukankah akan menjadi sebuah ke otoriteran ketika selalu menginginkan semuanya bagus pada tempatnya sesuai dengan sudut pandang orang pertama. Toh pada kenyataannya, sebuah keseragaman lebih banyak menghasilkan perpecahan dibandingkan dengan keberagaman. Ego yang memuncak pada akhirnya harus mau berkompromi dengan keadaan.

Aku masih menunggu plotmu dengan plotku untuk saling bersinggungan, saling beriris, dan memunculkan subplot-subplot baru dalam perjalanan plot besar masing-masing dari kita. Walau entah kapan.


Thursday, May 29, 2014

Sebuah Pesan dari Keterputus-asaan

Sebuah sudut yang menyajikan kita tempat dimana tidak ada lagi sebuah celah untuk kemanapun. Terpojok karena terus dihimpit. Tak ada ruang mengelak sedikit pun. Kemudian seketika keterputus-asaan datang menghampiri. Tak banyak yang dibawanya selain dari sebuah kesunyian yang sangat amat dalam merasuk.

Ketersudutan yang akan memunculkan sebuah ketidakmampuan untuk berpikir akan apa yang sudah direncanakan sebelumnya. Menumpulkan segala macam daya pikir ataupun hanya sekedar untuk berimajinasi. Suasana gelap dan kalut yang terasa menyesakkan yang makin lama semakin menjadi. Berpikir untuk sekedar meminta pertolongan, akan tetapi lalu menyadari bahwa tiada lagi yang ada disekitar. Toh jikalau ada, bukankah rasa percayamu akan orang lain sudah tidak ada sebelumnya. Percuma saja kemudian jika tetap mengharap iba orang.

Pada akhirnya segala pilihan terakhirmu hanyalah sebuah remah-remah yang tersisa dari sebuah pesta besar dari alam semesta. Tak akan ada lagi opsi tawar menawar yang diberikan. Cuma ada satu, ambil yang tersaji atau silahkan pergi untuk kembali meratapi segala keluh kesahmu sendiri.

Tuesday, April 29, 2014

Rival

Tabiat itu bak gen yang sudah sangat lekat melekat dengan darah mereka. Mengalir deras kesetiap sendi tubuh mereka yang kemudian diimplementasikan dengan perbuatan yang mereka kira wajar. Tak pernah merasa bersalah dan selalu jumawa kepada siapapun, padahal hanya ego dan kefanatikan semu yang kalian punya. Maaf jika saya harus mengatakan seperti itu, tapi itulah yang saya lihat sampai kejadian tadi sore. Tidak ada itikad baik dari pada menyambung sebuah benang kusut hasil dari keburukan masing-masing dari kita di masa lalu. Seakan merasa paling besar dan tua, tapi toh itu masa lalu. Tak perlulah membanggakan yang dulu kalau justru semakin kemari yang ada kalian hanya semakin mundur.

Mungkin jika almarhum ayah saya masi hidup sampai sekarang, beliau masi akan ada di bagian mereka. Menjadi penonton di salah satu sudut tribun itu. Berteriak apapun kepada punggawa-punggawa yang berlari dilapangan dan sesekali mengumpat kepada siapapun yang beliau mau. Dan saya sendiri akan berdiri di seberang sisi beliau. Bukan untuk memusuhi, namun untuk kali ini saya memutuskan untuk berbeda pandangan dengan beliau. Entah beliau akan marah atau tidak, tapi semoga dia paham. Mungkin beliau tidak sempat melihat anaknya ini menyukai apa-apa yang beliau coba kenalkan pada saya waktu kecil. Tapi percayalah, bahwa kali ini saya benar-benar lebih dari pada sebuah arti cinta pada hal ini. Walaupun berbeda tapi saya sendiri tak bisa membohongi diri saya sendiri akan dimana letak kebanggaan saya itu letakkan. Bolehkah dikata kalau biarlah kita mejadi rival selama 90 menit tapi setelah itu kembali kita menjadi sebuah keluarga yang saling melengkapi.

"Logo candi di dada itu akan selalu saya puja, karena disitulah ada tempat untuk kebanggaan saya berada."

Konektivitas

Membuncah bahagia kemudian memuntahkan semuanya.
Beriang gembira lalu terpuruk tak tahu kemana harus menyelinapkan murung berada.
Selalu bergidik dan menyangkal tapi dalam hati menuai rasa penasaran.
Sampai pada akhirnya selalu ada batas akhir pada apapun itu tak terkecuali.
Melepaskan entah harus dengan berat hati atau diiringi dengan sorak sorai.
Melupakan apakah nantinya dengan terpaksa atau berlalu secara sendirinya.
Suatu akhir yang nantinya akan berakhir.
Hilang tak berbekas.
Menjadi abu kemudian berhambur.
Segalanya yang membuatmu bahagia dengan cepat, maka seketika akan membunuhmu setelahnya.


ke-Aku-an

Menjadi diri sendiri yang betul-betul disadari secara sadar bahwa akulah aku tanpa ada sebuah ke-aku-an yang dibuat-buat nyatanya memang susah. Karna toh kita tidak bisa lepas dari orang lain. Persepsi dan label yang akan selalu mengiringi setiap langkah yang kita buat. Entah itu baik atau buruk, kita terima dengan lapang, acuhkan, atau bahkan yang akan kita lawan sampai kita mampus nantinya.

Tidak ada yang gampang sekarang, bahkan untuk sekedar hidup pun susahnya setengah mati. Jikalau hidup semudah apa yang dikatakan oleh para motivator-motivator itu, tentulah bangsa ini tak memerlukan keringat dalam mendirikannnya. Cukup dengan modal jongos dan bantal untuk membangun mimpi didalamnya. Tapi tau apalah saya akan sebuah susahnya hidup, jika keluh kesah hidup saya hanya terjadi di dunia perkicauan yang berharap tiap orang yang membacanya merasa iba kemudian menanggapinya dengan respon yang menyenangkan sesuai keinginan. Jikalau tidak ada yang merespon, cukuplah hanya tinggal membuat kicauan yang lebih mendramatisir lagi. Tak perlulah saya berbicara terlalu lama masalah susahnya hidup jika hanya masalah baterai hape yang tersisa hanya 20% saja sudah membuat saya panik tak karuan, atau ketika jaket branded saya terkena noda makanan mahal yang saya beli sendiri.

Hidupmu adalah hidupmu, begitu pula dengan ku. Yang menyangkut pautkan hanyalah kebaikan-kebaikan yang kita lakukan apapun itu. Selain itu, itulah urusanmu dan urusanku sendiri. Tak perlulah ingin tahu yang berlebih. Karna kadar keingintahuan milikmu dan milikku ini sungguh mengerikan jika kau tau. Toh ketika kau tau lebih, benarkah itu akan membantumu dalam menjalani hidupmu? Atau justru sebaliknya? Karna ada saatnya bahwa menjadi orang yang tidak tahu akan apa-apa itu sungguh sangat menyenangkan.