Wednesday, August 29, 2012

time to meet with some therapist

it's been a few day after the days for what people said with ied mubarak. Sebuah peringatan dimana hari itu setiap individu manusia memiliki segala sesuatu hal yang baru, terutama hati. Sebuah peringatan yang sangat hype di negara ini. Semua berlomba-lomba spend their money unutk kegiatan keagamaan atau hanya sekedar untuk pemuas hasrat memperkaya para pemilik modal di dalam mall-mall besar. But heiy, there's no much different with me. Tidak ada baju atau celana baru, satu-satunya yang sangat diinginkan hanya sepasang sandal yang agak terlihat formal(maklum selama ini kemana-mana hanya memakai sandal bermerk swallow) dan itupun sampai sekarang belum terealisasi. Entah malas atau sekedar hanya ingin tapi toh nyatanya tidak ada yang benar-benar baru disaat orang-orang memiliki sesuatu yang baru untuk dibanggakan. The things that much more better than before is just my feelings. Not much, but it really helpful.

Ohya, again my body can't stand away with the amount of some works that i take. Overcapacity, sedangkan untuk mencari muka baru untuk membantu saja saat ini sungguh sangat susah. Bukan ingin mengeluh akan pekerjaan, tapi sepertinya terlalu banyak tanggung jawab yang tidak seimbang dengan kekuatan yg dimiliki oleh tubuh. Seakan ingin membuat semua pekerjaan dengan hasil yang maksimal tapi justru sebaliknya. Semua hal itu tidak bisa berjalan bersama, harus ada satu yang dikorbankan. Masalah materi itu hal nanti, yang penting enjoy dulu dengan pekerjaan yang ada saat ini.

hmm, nuff said. makin sakit aj badan ini. time to get some therapist. hope this pain will gone soon.

Wednesday, August 22, 2012

25 and what?

Even at our birth, death does but stand aside a little. And every day he looks towards us and muses somewhat to himself whether that day or the next he will draw nigh. - Robert Bolt
Sebuah euphoria bagi sebagian orang ketika mengetahui usianya bertambah, berpikir akan segala yang mengasyikkan yang datang bersamaan dengan itu. Sungguh hanya kematian yang dibalut dengan tawa semu yang semakin dekat dengannya. Tak ada yang benar-benar mahfum akan sebuah kematian, beberapa mencoba mendeskripsikannya dengan pola perspektif mereka masing-masing. Tapi yang pasti adalah kematian itu sendiri. Bagaimana kematian itu akan menggenggam tiap individu dan menariknya ke dalam tiap-tiap pusara yang telah disiapkan.

Satu langkah kedepan, di langkah yang ke 25 ini. Sedikit menoleh ke belakang melihat masih begitu kacaunya masa lalu saya. Seakan ingin menatanya kembali untuk paling tidak sedikit tertata rapi bagai deretan buku-buku di perpustakaan. Sedikit saja rapi, tidak lebih atau paling tidak lebih enak untuk dipandang itu sudah cukup. Tapi nyatanya tiap kali menoleh ke belakang rasanya hanya ingin buru-buru menatap ke depan karena tak sanggup melihat masa lalu yang ada. Namun celakanya ketika menatap ke depan pun lagi-lagi dibuat tak berdaya akan apa yang sebenarnya menanti didepan. Dibalik abu-abunya masa depan tersembunyi kematian di tiap sudutnya. Dia diam tak bersuara, hening bahkan lebih hening dibanding dengan perayaan mengheningkan cipta kenegaraan sekalipun.
Life is really simple, but we insist on making it complicated. - confucius
Tentu berdiri di angka 25 bukannya sesuatu yang sia-sia. Ini hanya bagian kecil dari yang namanya perjalanan hidup hingga nanti bisa bertemu dengan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menjelaskan segala pertanggung jawaban yang telah diberikanNya. Hidup bukanlah sebuah kebetulan dan keberuntungan yang didapat oleh sebagian orang melalui mesin2 judi di pulau sentosa. Ada banyak alasan akan segala hal yang terjadi dalam hidup kita. Baik itu disadari ataupun tidak, baik itu dirasa mengenakkan atau sangat menohok ulu hati sekaliapun tapi toh semua ada alasan. Jadi jalanai saja peran masing-masing sampai nantinya kita semua bertemu dititik garis finish. Bye!

Tuesday, August 21, 2012

Ke Mars Bersamamu


Suatu waktu dimana dunia yang saya tempati mulai mengeluh, berkeluh kesah bercerita akan kepayahannya yang sudah tua. Kalaupun dilihat dari bentuk fisiknya memang banyak terjadi perubahan pada dirinya dibanding beberapa tahun yang lalu dimana pertama kali saya menginjakkan kaki padanya. Mengalami proses penuaan yang secara alami akan dialami oleh siapapun, tapi menjadi tua lebih cepat dari yang seharusnya akibat dari individu-individu yang tak bertanggung jawab dengan cara mereka merusak dan membully habis-habisan tentu bukanlah hal yang diinginkan oleh dunia saya ini. Banyak orang menamai dunia saya ini dengan bumi. Saya tentu tidak tinggal sendiri, ada banyak orang yang juga tinggal didalamnya. Berbagi tempat yang bahkan harus berdesak2an untuk dapat bernapas. Sebagian dari mereka sangat baik pada dunia ini sedangkan banyak lainnya tergolong dari apa yang saya ceritakan diatas tadi.

Pada suatu sore, keluh kesah yang diungkapkan bumi kepada saya seakan menandakan bahwa inilah saatnya. Saat bagi dia untuk mengatakan sesuatu yang menurutnya penting bagi sebagaian orang yang peduli terhadapnya. Entah apa yang terlintas dipikirannya ketika memilih saya masuk kedalam golongan orang2 tersebut. Dikumpulkanlah individu-individu itu ke suatu padang yang luas. Bumi mulai membisikkan sesuatu pada tiap2 orang yang diinginkannya secara perlahan. Perlahan dan lirih, sambil sesekali berdeham. Nafasnya sangat berat waktu itu, mungkin semalam dia tidak tidur hanya untuk membuat list orang-orang ini pikirku. Pesannya berbeda pada tiap orang, itu terlihat dari waktu dan ekspresi yang dia coba tunjukkan. Tiba saatku untuk mendekatinya, perlahan dia datang memberi isyarat untuk mendekatkan telingaku padanya. Aku maju satu langkah dan itu sudah cukup bagiku untuk memebri jarak antara telingaku dengan dirinya. Dia berkata, pergilah yang jauh. Tersentak aku mendengarnya, kubalas dengan lirih, kemana? aku bahkan tidak tahu lagi mau kemana. Bahkan didunia mu ini aku selalu kehilangan arah. Tak tahu arah, lalu kau sekarang tiba-tiba menyuruhku pergi. Kau tahu, ada banyak masalahku yang belum kuselesaikan disini. Lalu dia menjawab, sekarang saatnya karena tak ada lagi yang kau butuhkan disini. Tentang masalahmu biarlah itu menjadi tanggungan masa lalu. Kulihat kau sudah terlalu lelah disini dengan segala problematika dan imajinasimu yang kadang meluluh lantakkan dirimu sendiri. Kau rapuh disini dan aku tak tega melihatmu seperti itu. Terdiam aku untuk beberapa saat dengan jawabannya seakan membenarkan apa yang diucapkannya. Baiklah jika itu yang kau minta, tapi kemana? Timpalku. Dia mendekat kali ini sangat dekat bahkan deru nafasnya bisa kurasa. Ke Mars kau kan pergi. Ingat tujuanmu Mars!

Friday, August 17, 2012

Batavia

Jakarta, sebuah kota yang menyandang kewajiban sebagai seorang ibu bagi ratusan bahkan ribuan kota di sebuah negara yang orang-orang sebut dengan nama Indonesia. Entah apa sebenarnya yang menjadi latar belakang Jakarta mendapuk tugas berat seperti itu. Sebagai sebuah ibukota negara tentulah bukan hal yang mudah, apalagi jika menyangkut luas wilayah negara Indonesia. Kalau saja Indonesia hanya sebesar negara Tuvalu atau bahkan Nauru yang bahkan untuk ukuran negaranya hanya setengah dari luas kota Jakarta dan Jakarta menjadi ibukota negara didalamnya tentu akan lain cerita tapi ini Indonesia yang lagi-lagi kata orang merupakan bangsa besar dan hebat(pada masa lalu) tetapi tetap saja jargon itu masih dipakai sampai sekarang. Utopis memang, disaat dimana tidak ada apa-apa yang bisa dibanggakan dari negara Indonesia, hanya jargon seperti itulah yang digunakan sebagai pelepas dahaga jutaan rakyatnya.

Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari yang namanya Jakarta. Kota dimana roda pemerintahan, perekonomian, dan lain sebagainya berpusat di kota tersebut. Bukan main beban yang harus ditanggung Jakarta. Layaknya Indonesia mini, segala macam orang ada di kota tersebut. berada disitu hanya untuk sekedar menyerap sari pati yang bisa diambil sebanyak-banyaknya untuk kemudian dibawa pulang kedaerahnya masing-masing tanpa perlu peduli akan apa yang ditinggalkannya di Jakarta. Pun sudah bisa memuaskan segala ego dan mengeruk segala macam hal dari Jakarta, tetap saja Jakarta dihina, dicaci tiada henti dari segala penjuru tak terkecuali oleh siapapun itu. Bagai buah simalakama, Jakarta dibutuhkan tetapi bukan untuk dijaga, hanya dieksplorasi selama 24 jam tanpa henti oleh makhluk-makhluk yang tinggal didalamnya.

Sudah beberapa kali kaki saya menginjakkan tanah Jakarta. Mulai dari hanya sekedar haha-hihi atau untuk masalah mencari kerja. Semuanya berakhir dengan kekecewaan. Bukan karena hal-hal tersebut, namun karena Jakarta yang sudah tidak mampu lagi memberi rasa nyaman bagi tiap-tiap orang yang ada didalamnya. Semua apatis kecuali pada diri mereka sendiri-sendiri. Memakan sesama bukan hal yang aneh di Jakarta selama itu bisa membantumu untuk hidup didalamnya. Jakarta membentuk sebuah rantai makanan baru didalamnya. Ah saya bahkan masi ingat tiap umpatan kata dari orang-orang yang saya temui. Setiap detilnya penuh amarah dan kekecewaan terhadap Jakarta, tapi toh mereka masih saja tinggal disana. Menyalahkan Jakarta tapi mereka adalah bagian dari segala macam keruwetan yang ada di Jakarta itu sendiri. Jakarta sungguh aslinya tak berdosa. Hanya mungkin sudah menjadi kutukan saja dimana sejak dulu menjadi tempat persinggahan dan berkembang menjadi lahan perebutan kekuasaan. Jakarta dirusak oleh sistem, sistem yang sejak dulu mengakar dan sudah kronis. Jakarta berasa sudah dikutuk untuk mejadi tempat sumpah serapah!

Kali ini ada sebuah tawaran yang mungkin saya sendiri akan berpikir dua kali untuk menolaknya. Sebuah tawaran untuk menjadi bagian kecil dari Jakarta. Tawaran yang membuat saya masuk ke dalam sistem yang bernama Jakarta. Saya mengernyitkan dahi dan berpikir keras, Jika saja saya mau membuka diri saya untuk Jakarta, mungkinkah Jakarta mau melakukan hal yang serupa untuk saya?